Kebenaran

Saat saya melakukan survey emas di daerah “X”, saya sempat bercakap-cakap dengan seorang kakek yang tinggal di daerah itu. Isi percakapan kami ngalor ngidul karena memang dia sangat sarat oleh pengalaman. Mulai dari pembicaraan tentang makanan khas daerah setempat sampai sejarah perjuangan indonesia sebelum jaman kemerdekaan. Malahan kesimpulan saya, si kakek itu adalah seorang pejuang yang tak pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah, sekalipun berupa lencana penghargaan atau piagam atau apalah...saya tidak tahu.
Ada sepenggal obrolan diantara kami, yang menurut saya sangat interes. Begini ceritanya, yuk kita mulai saja.

Ia mulai angkat bicara lagi memecah kesunyian diantaran obrolan kami yang sempat terputus karena interupsi goyangan dangdut di televisi. Lanjutnya, “kebenaran itu relatif dan mutlak. Relatifnya karena kebenaran itu ada empat angel (sudut pandang) yaitu:
Bener ceuk sare’at
Bener ceuk batur
Bener ceuk urang
Bener ceuk pamarentah”
Kalau diartikan dalam versi indonesianya kurang lebih begini:
“Benar menurut syariat
Benar menurut orang lain
Benar menurut saya
Benar menurut pemerintah”
Dia melanjutkan, “benar kata orang lain, belum tentu benar menurut saya. Benar kata pemerintah belum tentu benar menurut orang lain atau menurut saya. Bener kata saya, belum tentu benar menurut syariat....dst...dst..”.
Dalam hati saya bertanya (dan tentunya langsung saya tanyakan pada si kakek), “jadi bagaimana kek untuk menentukan kebenaran itu, ukurannya apa, dimana kita harus belajar sehingga menemui pengetahuan yang betul-betul benarnya tentang kebenaran. Apakah kita harus belajar pada kiai-kiai di pesantren, guru-guru, atau profesor doktor sepeti pembimbing skirpsi saya?”
Apa jawabnya? “Ah tidak perlu jauh-jauh…disini,” kata si kake sambil menepuk-nepuk dada dengan ekspresi muka yang tetap serius.
“Maksud Kakek, hati?”, tanyaku menyelidik.
“Ya”, jawabnya dengan penuh percaya diri, “itulah kebenaran mutlak”, lanjutnya menambahkan.

Begitu sepenggal obrolan saya dengan si kakek. Lalu dimana menariknya? Begini, selama ini saya telah membaca Quatum Ikhlasnya Erbe Sentanu, ESQ nya Ary Ginanjar, etc, bahkan Misteri Energi Istigfarnya Muhamad Muhyidin, yang saya dapatkan hanya sebatas tahu tanpa memahami, bahkan saya sering lupa. Saya baru menyadari bahwa hati lah sumber kekuatan untuk menentukan kebenaran yang hakiki.
Aneh juga perasaan, ternyata saya memerlukan orang yang secara langsung mengatakan hal itu kepada saya. Kalau tidak, mungkin saya tidak bisa menulis tentang ini di blog kesayangan kita...hehe . Lewaaaat...
Saya adalah orang yang percaya bahwa hati adalah god spotnya Allah SWT. Hakikatnya, nama-nama Allah yang 99 itu, telah Allah SWT turunkan ke hati manusia. Anda harus percaya, untuk menentukan sesuatu benar-salah, tanyakanlah kepada hati jangan kepada otak, apalagi kepada rumput yang bergoyang...Mengapa? Anda benar... otak seringkali menipu, sedangkan demi Allah, hati tidak akan pernah menipu anda sekali pun. Dan ini tidak perlu saya berikan contoh.
Dengan demikian, berdoalah dengan hati saat anda memunajatkan hajat anda kepada Allah SWT, sebab mana mungkin cinta anda akan diterima oleh calon kekasih anda, sedangkan saat anda mengatakan cinta, muka anda ngeles kaditu kadieu, bener teu? Shalatlah dengan menggunakan hati, bersedekahlah dengan hati, insya allah anda melaksanakan semua itu dengan ikhlas.
Sepertinya terlihat hambar apa yang saya paparkan di sini. Apakah tulisan saya ini tidak menyentuh hati anda? Yaaa... mungkin itu disebabkan saya menuliskannya tidak dengan hati...hehe. Tapi cobalah anda membaca minimal tiga buah buku yang saya rekomendasikan di atas. Saya sempat membaca buku itu sampai tiga balikkan dari tiap-tiap buku lho. Bukan karena tidak ada lagi buku yang harus saya baca, melainkan karena memang terasa nikmat saat membaca buku itu. Dan tentunya karena buku-buku itu ditulis dengan hati.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar